Sebuah karya perupa muda asal Solo, Tri Wahyudi, dalam pameran tunggalnya di Sri Sasanti Gallery, Yogyakarta, 2010. (foto: kuss)
Pra Wacana. SEJAK zaman sebelum perang kemerdekaan, Solo sebenarnya memiliki sensualitas dan daya tarik atau ‘pleasure’ sebagai pusat wisata seni budaya. Kota yang terletak di bagian tenggara propinsi Jawa Tengah ini, memiliki citra wisatanya melalui gambaran romantis tentang wanitanya, dalam sebuah lagu legendaris yang pengarangnya tidak diketahui pasti. Lagu tersebut berjudul “Putri Solo”. Untaian syairnya demikian: Putri Solo dhasare kepara nyata, pancen pinter alelewa dasar putri Solo, nganggo selendhang pelangi, sumampir ana pundhake, cundhuke kembang melati, dadi lan pantese, lakune kaya macan luwe, sandhal jinjit penganggone, ciyet-ciyet swarane, kerlap-kerlip berliane, dhasar putri Solo, putri Solo yen ngguyu dhekik pipine, ireng manis kulitane, dhasar putri Solo. Citra romantis atas kota Solo dengan putri Solonya, merupakan paduan misteri yang dibungkus dengan imajinasi indah dan menyatu dalam dunia pariwisata kota pinggiran sungai terpanjang di Jawa, Bengawan Solo (Ardus, 1996). Perlu diketahui di dunia pariwisata wanita memiliki peran dan nilai tersendiri. Gambaran syair dalam lagu diatas, benar tidaknya tidak ada yang tahu, tetapi yang jelas Solo telah lama menjadi salah satu tujuan wisata, daya pikat lain karena Solo memiliki sebuah keraton, dengan nama lengkapnya keraton Surakarta Hadiningrat. Tidak boleh dilupakan Solo juga mempunyai sebuah pura Mangkunegaran yang sampai saat juga masih menyedot perhatian masyarakat negeri ini khususnya dan mancanegara pada umumnya.

Kota Solo yang terletak di tepi bengawan, dibangun sejak 17 Pebruari 1745 dan menjadi pusat pemerintahan kerajaan, dengan wilayahnya sebagian besar propinsi Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur sekarang ini. Solo merupakan wilayah agraris-mistis, yang memiliki “aura” kharismatik yang masih dihormati masyarakat luas di luar Solo (Ardus: 2006). Solo memiliki segala macam produk budaya, adat-istiadat, bahasa (Jawa), sastra, seni karawitan, seni rupa, kuliner dan produk budaya rumahan seperti batik, keris, wayang kulit, kerajinan kuningan/tembaga dan sebagainya. Selain itu Solo juga mencitrakan diri sebagai Negari Gung, artinya Solo dengan produk budayanya dianggap menjadi negeri (kota) pusat penciptaan seni budaya besar atau agung. Beberapa produk budaya seni tari dan pedalangan, misalnya Solo menjadi panutan bagi produk budaya wilayah di bawahnya, seperti Sragen, Wonogiri, Karanganyar, Boyolali, Klaten, Banyumas, Pati dan sebagainya.

Kota Solo, memang sejak lama memiliki beragam aset wisata dan mengantongi “cap paten” sebagai kota pelesiran atau pariwisata, pada masa lalu siapapun yang datang ke kota Solo dipastikan tidak akan melupakan Kebon Raja, Taman Sri Wedari, Taman Balekambang, pemancingan Langenharjo tepi Bengawan Solo ataupun sekadar menikmati alun-alun Lor, sambil menanti sembahyang Dzuhur di masjid Agung denga santai untuk “nglelipur jiwa”. Pada malam hari bersama semilir angin dingin hembusan sungai Bengawan dapat  melanjutkan untuk menikmati indahnya kota Solo, dengan melihat pertunjukan wayang orang Sri Wedari, nonton film di bioskop Soboharsono, mengitari kraton pada malam hari khususnya malam satu Suro, sambil sekali-kali mengudap wedang jahe, nasi liwet dan jenang lemu, dengan hati nyaman dan seger sumyah.

Solo Beranjak Menjadi Kota Mikropolitan

Setengah abad kemudian, kota yang memiliki luas 44 km2 ini banyak mengalami perubahan. Penduduknya meledak mendekati jutaan jiwa, pada siang hari penduduknya bertambah menjadi sekitar dua jutaan, dengan masuknya para pekerja dari luar Solo, untuk mengadu nasib, mencari nafkah di Solo. Solo, telah menjadi kota “mikropolitan”, dengan mengakibatkan sebagian kultur khasnya sedikit demi sedikit hilang terkikis oleh kemajuan zaman. Perkotaan Solo melebar sampai wilayah kabupaten yang mengitarinya. Solo, kotanya telah bergandengan tangan tanpa batas dengan Sragen, Karanganyar, Boyolali, Klaten, Sukaharjo dan Wonogiri. Percepatan modernisasi kota Solo lengkap sudah dengan berdirinya pusat-pusat pertokoan modern, pasar swalayan, mall, bank-bank, square, hotel berbintang dengan cita rasa metropolitan. Solo telah dipenuhi pabrik-pabrik, seperti pabrik tekstil, pengolahan kayu lapis, mebel, karung plastic, sepatu dan sebagainya (Ardus: 2006).

Seperti layaknya kota besar Solo juga membangun “bisnis” pendidikan secara besar-besaran, kampus-kampus megah kokoh berdiri, sebut misalnya Universitas Negeri Sebelas Maret, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Institut Seni Indonesia, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri, Universitas Islam Batik, Universitas Tunas Pembangunan, Akademi Teknik Mesin Warga, Akademi Bahasa Asing St. Pignatelli dan lain-lainnya telah menghantarkan Solo menjadi kota yang benar-benar modern.

Kemajuan atau kemodernan kota Solo, memang menjadi tantangan dan sekaligus menjadi peluang kepada siapa saja untuk bersama-sama mengembangkan Solo, dengan tujuan jangka panjangnya Solo benar-benar “dipercaya” para wisatawan atau para pelancong, untuk suntuk menikmati seni dan budayanya dengan mengesankan.

Kemodernan kota Solo dewasa ini beranjak maju pesat di bawah kendali pimpinan tangan dingin walikota Solo yang memang peduli terhadap kemajuan dan kemodernan, dengan tetap tidak melupakan kekayaan nilai-nilai tradisi dan budaya asli Solo. Beberapa pusat-pusat budaya direnovasi dan dihidupkan kembali, misalnya dengan menggugah benteng Vaternburgh dari tidurnya, memanjakan pusat barang antik di pasar Tri Windu, jalan santai pusat barang klithikan di Sangkrah, berleha-leha di taman Sri Wedari, wisata ndeso di Pasar Ngarsopuro, ramahnya penjual Kampung Batik Laweyan, menjajakan benda-benda seni disepanjang City Walk di jalan Slamet Riyadi dan sebagainya. Dalam menghidupkan dan perenovasian Solo didasarkan dengan tetap memelihara nilai-nilai tradisi, menjadi poin positif bagi walikota Solo, untuk menggaet orang agar datang ke Solo dengan kekhasannya.

Perubahan terpenting di kota Solo yang lain dewasa ini, adalah bergesernya  pusat budaya yang bernama Taman Budaya Jawa Tengah, yang kebetulan berada di Solo. Memasuki tahun 2008, secara resmi Taman Budaya menggabungkan dirinya di bawah naungan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata setelah 25 tahunan bernaung di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bergabungnya Taman Budaya Surakarta di bawah Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, menjadi menarik untuk dikaji lebih lanjut, karena peran Taman Budaya akan menjadi lebih luas dan melebar ke dalam sendi-sendi “kepentingan“ kepariwisataan dan kebudayaan (seni rupa, seni tari, musik, teater, pedalangan, sastra, karawitan) sekaligus untuk mengejar ketertinggalan Solo dengan kota lain. Di samping itu pihak Departemen Pariwisata sendiri juga diuntungkan, karena akan mengetahui secara nyata kiprah para seniman, yang telah “digarap” oleh Taman Budaya selama ini. Selain itu juga akan mengerti kepentingan seniman di lapangan kesenian, ketika suatu saat akan berdialog, menggarap dan memasuki wilayah, dimana “denyut konsep dan idealisme para seniman” itu terbentuk. Bersama pemerintah kota, sudah semestinya Departemen Pariwisata dapat “memberikan suntikan darah dan mengambil darah” kepada Taman Budaya yang selama ini “memayungi” para kreator, seniman, budayawan, pekerja seni dapat di Solo khususnya dan Jawa Tengah pada umumnya.

Menurut pandangan penulis, bahwa selama ini para kreator seni rupa hanya bekerja sesuai dengan perannya, yaitu berkarya dan berkarya. Sementara dari pihak yang berkompeten dalam memajukan wisata seni rupa di Solo, juga belum terjadi komunikasi yang baik, semua jalan sendiri-sendiri. Dapat dibayangkan, kalau tidak ada dialog dan komunikasi dengan “ikon-ikon seni rupa Solo” tersebut, tentu perkembangan  seni rupa Solo, akan tertinggal dengan kota lain. Maka dengan beralihnya Taman Budaya dibawah naungan Departemen Pariwisata, diharapkan terjadi sinergi antara keduanya, agar tercipta kondisi saling menguntungkan. Peluang Departemen Pariwisata, untuk mendekati seniman, sebagai pencipta produk perlu dimulai, dengan tetap memelihara kebebasan dan kemerdekaan berkreasi, seperti yang sudah berjalan selama ini. Khususnya pengelolaan kesenirupaan modern, memang belum menjadi perhatian oleh pemerintah kota. Hal inilah yang menjadi bahan perenungan dan pemikiran bagi pemerintah kota, bekerjasama dengan dinas pariwisata dengan “tangan panjangnya” yaitu Taman Budaya Surakarta.

Ruang “Wisata” Seni Rupa Solo, Potensial tetapi Belum Tersentuh 

Sejarah telah mencatat, boleh percaya boleh tidak, bahwa munculnya banyak gerakan kesenirupaan di Indonesia sebenarnya berawal dari Solo, sebut misalnya mulai dari nama besar S. Sudjojono, Zaini, Soedibio, Sudjono Kerton, Trubus, Surono, Affandi, Nashar, Basuki Resobowo, Sunindyo, Soemardjo, Suromo, Moh. Sahid, Sasongko, Rusli, Kirnadi, S. Wakijan, Nasyah Djamin, Suharto, Suparto, Sudiardjo, Nurnaningsih Yudhokusumo, Agus Djaya, S. Sundoro, Sediyono, Harjadi, Sudarso, Syahri, Kartono Yudokusumo, Abdul Salam, Dullah sampai dengan generasi di bawahnya sebutlah seperti Sri Hadi Sudarsono, Jeihan Sukmantoro, Mulyadi W., Sri Warso Wahono, AS Budiono, Hadjar Satoto, Bonyong Munni Ardhi, Putut. H. Pramono, Citro Waluyo, Gunawan Hanjaya, titik keberangkatan mereka memang dari Solo. Solo pada masa lalu sampai saat ini telah berhasil “melahirkan” perupa-perupa besar dan memenuhi catatan sejarah dan nilai-nilai historisnya, sehingga menarik untuk dijadikan  pekerjaan rumah yang besar dan menarik bagi dunia kepariwisataan di Solo. Sementara wilayah seni yang lain,  diluar seni rupa Solo telah melahirkan dan membesarkan seniman dan budayawan besar dengan tingkat pencitraan turistiknya yang luar biasa di Indonesia dan dunia, sebut saja sebagai contoh mulai dari S. Waridi, Rahayu Supanggah, Anom Suroto, Retno Maruti, Sardono W. Kusumo, Rendra, Suprapto Suryo Darmo, Danarto, Gesang Marto Hartono, Waljinah dan sebagainya.

Para seniman dan budayawan yang lahir dan dibesarkan Solo tersebut, telah berbuat banyak untuk dunia, sementara kota yang melahirkan dan membesarkan mereka, belum sempat memikirkan nilai luhur karya-karya besar mereka untuk dijadikan karya bersejarah yang penting untuk cermin bagi berlangsung dan berkembangnya kesenian di Solo, misalnya museum seni.  Sementara di kota-kota besar lainnya, seperti Jakarta, Bandung, Yogjakarta, Semarang, Magelang, Surabaya kotanya telah memberikan “rumah yang sejuk” bagi para senimannya, mereka dibuatkan oase untuk membangun museum-museum, galeri, rumah seni, padepokan, art space. Para seniman ramai-ramai berpulang kekandangnya, setelah sekian puluh tahun hijrah dari kota yang melahirkan mereka, mereka hormati kota kelahirannya, ingin memajukan dan berkomunikasi dengan angkatan di bawahnya. Hal ini sangat lumrah dan mulia, karena kepulangan mereka tidak membawa tangan kosong, tetapi telah mengantongi segudang pengalaman untuk ditebarkan kepada siapapun yang datang di rumah-rumah mereka.

Wisata di Ruang “Ikon Masa Lalu” Seni Rupa Solo

Sekali lagi khusus di dunia kesenirupaan, Solo memang ketinggalan kereta. Uluran dan dialog dari pemerintah kota kepada para empu seni rupa, belum terjalin dan belum terpikirkan. Hal itu dapat dilihat kenyataan yang sebenarnya, sebagai contoh Solo mempunyai perupa besar nasional yang telah pulang kandang dan mendirikan sebuah museum yang cukup representatif, misalnya Musem Dullah. Museum yang didirikan Dullah sekitar tahun 90-an sampai mati dan tutupnya Museum pada saat ini, pemerintah kota dan dinas pariwisata, belum melihat dengan  serius untuk ikut memikirkan keberadaan Museum tersebut. Pada hal sudah seharusnya, diminta atau tidak diminta pihak pemerintah kota dan dinas pariwisatanya memiliki kewajiban untuk ikut terjun dan merespon positif adanya Museum Dullah tersebut, sebagai aset wisata seni rupa yang menarik di kota ini. Keberadaan Museum Dullah yang sampai saat ini masih tutup dan belum dibuka kembali, menjadi “tengara” bahwa kepedulian pemerintah Solo, Departemen Pariwisata dirasa sangat kurang perhatianya, terhadap “ikon aliran realisme seni rupa” yang kebetulan pulang kandang ke Solo, yang bertahun-tahun bermukim di istana Negara, pada masa kekuasaan Bung Karno. Bila hal ini dibiarkan terus menerus, maka karya-karya maestro realis Indonesia tersebut, akan rusak oleh waktu, dan sungguh ironis serta menyedihkan.

Solo juga pernah mempunyai perupa tradisional yang karya-karyanya menarik dan cocok untuk kelengkapan dunia wisata khas Solo, pelukis itu bernama Citro Waluyo. Citro Waluyo adalah nama besar bagi pencitraan seni rupa tradisi di Solo dengan karya pemandangan dan aneka legenda rakyat, misalnya tentang: pesugihan kandang bubrah, Nyi Blorong, yuyu kangkang, ande-ande lumut dan sebagainya. Sementara saat ini anehnya hampir seluruh karya Citro Waluyo yang unik itu, di rumah sederhana di Mijipinilihan, Joyopakan RT 02/RT 01 Solo, tidak tertinggal dan tidak ditemukan satupun karyanya-karya, kecuali gambar pemandangan dan lukisan legenda tentang Joko Tarub (Hermanu: 2006). Sebagian besar disimpan dan dikoleksi oleh salah seorang pengagum Citro Waluyo di Yogjakarta. Yogyakarta akhirnya berinisiatif untuk “ngukup dan ngopeni” karya-karya besar Citro Waluyo tersebut, kalau tidak keliru di tangan Buldanul Khuri, Bentara Budaya, dan atas uluran hati baik dan kreatifnya Prof.Dr. Umar Kayam, almarhum. Sementara warga Solo tidak satupun yang memiliki koleksi karya Citro Waluyo tersebut, kecuali satu dua karya yang ada di Taman Budaya Surakarta.

Tokoh lain yang tidak kalah penting dari contoh-contoh  di atas adalah nama besar AS Budiono. AS Budiono, satu-satunya sebagai perupa abstrak yang setia, AS Budiono telah mengabdikan dirinya kepada seni rupa sepanjang hidupnya. Di Solo satu-satunya pelukis yang secara total memilih jenis aliran abtraksionisme sampai akhir hayatnya hanya dia. Karya-karya Om Cong (demikian panggilannya) menjadi karya fenomenal yang tidak terhempas oleh angin dan waktu. Sampai kini karyanya masih tersimpan rapi, di bilangan Pasar Gedhe. 

Selain nama di atas, tokoh potensial yang lengkap dengan seni rupa touristic di Solo adalah Hajar Satoto perupa serba bisa dengan spirit dan nilai-nilai tradisi yang digelutinya, akan menambah “kekayaan seni rupa Solo”  sebagai kota budaya dan pariwisata dengan tiada tara. Hajar Satoto secara fenomenal pernah membuat gamelan pamor yang dihadiahkan keraton Surakarta. 

Pelukis lain yang sekarang menetap di Solo lahir di Surabaya, pensiunan dosen ISI Solo adalah Bonyong Munni Ardhi. Bonyong seorang tokoh seni rupa kontemporer nasional dan menjadi salah satu pendiri Gerakan Seni Rupa baru Indonesia, juga penting untuk dibicarakan sebagai aset wisata seni rupa di Solo. Bonyong dengan usianya menjelang 70 tahun, tetap eksis dan berkarya di Solo dan di Jakarta. Bonyong telah menjadi “ikon” kota Solo utamanya kalangan anak muda penganut pop art. Ini semua menjadi tugas pihak pemerintah untuk ikut campur menangani pemilik nama besar di atas, dengan mengadakan dialog, mengkomunikasikan, mempublikasikan dan memberikan ulurangan tangan untuk menghidupkan aset-aset wisata seni rupa itu. Itupun kalau memang Solo, menginginkan menjadi kota seni rupa seperti kota-kota lainnya. Nama-nama besar tersebut, hanya sebagai contoh betapa bahwa Solo sebenarnya memiliki kekayaan wisata seni rupa yang menjanjikan, yang sampai saat ini belum tergarap dan tersentuh oleh pihak-pihak yang berkompeten, dalam hal ini pemerintah kota dan dinas pariwisata. Sekali lagi dengan bergabungnya Taman Budaya Surakarta ke Dinas Pariwisata, hal-hal di atas sangat mungkin kedepan dapat menjadi garapan, agar Solo bangkit dan tidak ketinggalan dengan kota-kota besar lainnya.

Sebagai gambaran awal, penulis memberanikan diri untuk “memilih” tokoh-tokoh di atas dibanding perupa lainnya, karena tokoh-tokoh tersebut memiliki kekhasan dalam hal  keberagaman aliran, perjalanan kesejarahan dan kesetiaan konsep. Dullah satu-satunya tokoh realisme di Indonesia, Citro Waluyo tokoh seni rupa tradisional, Hadjar Satoto setia mengemban seni rupa dekoratif modern, AS Budiyono mewakili tokoh seni rupa modern abstraksionisme dan Bonyong Munni Ardhi mewakili makna pertarungan zaman dengan seni rupa pop art-nya, dengan tema-temanya yang membela kaum petani dan mungkin masih sangat banyak tokoh lain yang dapat ditambah. Pemilihan kelima tokoh tersebut, dirasa dapat mewakili ruang dan waktu perjalanan dan perkembangan seni rupa di kota Solo, dari waktu kewaktu. Untuk itu dalam tulisan ini akan dipaparkan sepintas keberadaan para perupa Solo di atas, yang untuk sementara dapat dijadikan studi kelayakan dan pada saatnya dapat menjadi bahan pemikiran untuk nantinya digarap oleh pemerintah kota, sebagai aset wisata seni rupa di Solo ke depan.

Menghidupkan Museum Dullah

Di atas telah dipaparkan, bahwa Museum Dullah merupakan aset wisata seni rupa yang layak “dijual”. Dullah, lahir di Solo, bulan September 1919 dari seorang keluarga pengusaha batik terpandang di Solo. Dullah pada masanya merupakan tokoh yang ikut menghidupkan organisasi para perupa di Solo dalam wadah SIM (Seniman Indonesia Muda) pada tahun empat puluhan. Melalui wadah SIM inilah Dullah, menelorkan ide-idenya dalam bentuk lukisan-lukisan revolusi. Pada saat yang sama rupanya Bung Karno, dalam menggencarkan perang terhadap imperialis Belanda, tidak hanya membutuhkan para pejuang yang memanggul senjata di medan laga, tetapi juga membutuhkan seniman untuk turut berkiprah menggelorakan semangat revolusi di negeri ini. Gayungpun bersambut, bersama Affandi, S. Sudjojono, Chairil Anwar dan sebagainya, gerakan seni rupa yang bertemakan revolusi kemerdekaan mendapat sambutan positif dari Bung Karno.

Dari sinilah Dullah, memulai serius dalam melukis peristiwa peperangan dalam masa-masa revolusi kemerdekaan. Dalam buku karya Dullah Paintings in War and Revolution (1983), Dullah menulis, bahwa ia pernah mengabadikan peristiwa pemboman kota Yogyakarta, tahun 1948. Bersama istrinya ketika mengungsi di daerah Maguwo, 15 km dari kota Yogyakarta. Pada lain waktu Dullah juga mengajak anak-anak di sekitar kampung Maguwo, untuk melukis peristiwa tersebut dengan penuh keberanian. Nama anak-anak yang tercatat dalam buku tersebut antara lain; Muhammad Thoha, Muhammad Affandi, FX Supono, Sri Suwarno dan Sarjito. Anak-anak itu diajari Dullah untuk menyaru Belanda dengan pura-pura sebagai penjual rokok dengan kotak atau koper yang sebenarnya berisi kertas, pensil, cat dan sebagainya. Tujuannya agar anak-anak itu dapat melukis peristiwa peperangan pada titik terdepan. Hasilnya, terbukti luar biasa,  karya-karya tersebut benar-benar mencengangkan warga Belanda, ketika dipamerkan di Amsterdam tahun 1985. Bahkan dokumentasi perang yang berujud karya anak-anak tersebut sekarang diasuransikan dari pihak pemerintahan Belanda.

Di lain waku Bung Karno, juga pernah memanggil Dullah untuk berdiskusi tentang desain burung garuda sebagai simbol Negara. Menurut Bung Karno, bahwa posisi kaki burung garuda yang menghadap kebelakang dirasa kurang enak dilihat, kemudian oleh Dullah posisi kedua kaki garuda tersebut diubah menghadap kedepan, posisi tersebut persis seperti apa yang kita lihat saat ini (Sudarmadji: 1988). Dullah juga memprakarsai untuk membukukan koleksi-koleksi lukisan di istana Negara yang jumlahnya sampai dua ribuan karya. Dari ulasan sekilas tersebut, sudah selayaknya siapapun, khususnya pemerintah kota Solo, Dinas Pariwisata bersama pihak-pihak institusi seni di Solo seperti ISI, UNS untuk kiranya memikirkan keberadaan wisata seni rupa Solo, dengan menghidupkan kembali Museum Dullah.

Pemugaran Rumah Seni Lukis Tradisi Citro Waluyo

Yang namanya wisata, apalagi wisata seni rupa tentu perlu disajikan dengan berbagai konsep yang menarik dan beragam, mulai dari yang seni rupa tradisional  sampai dengan yang modern. Seni Rupa tradisi, untuk Solo dapat terwakili oleh sosok Citro Waluyo. Ia pandai mengemas  legenda dan folklore Jawa menjadi karya seni rupa tradisi sederhana tapi unik dan menggugah. Citro Waluyo menggarap seni lukisnya dengan beberapa tema, antara lain tentang pesugihan yang ada di Jawa, seperti pesugihan Kandang Bubrah, Buto Ijo, dan Nyai Blorong. Kemudian tema keindahan alam di Indonesia dan legenda-legenda rakyat seperti Joko Tarub, Joko Tingkir dan Baru Klinthing. Selain itu Citro Waluyo juga melukis para Nabi, seperti Nabi Sulaiman dan masih banyak lagi (Hermanu: 2006).

Munculnya seni tradisi yang berkaitan dengan dunia pesugihan orang Jawa, termasuk karya Citro Waluyo merupakan ide dari pihak keraton yang intinya keraton berpikir bagaimana cara mengubah nasib rakyat kecil yang miskin, menjadi kaya raya. Dari pikiran tersebut,konon kabarnya untuk kemudian kraton “bekerjasama“ dengan dunia lain, dengan sebutan pesugihan macam-macam, seperti: Pesugihan Babi Ngepet, Nyi Blorong, Buto Ijo, Kandang Bubrah, Yuyu Kangkang, Bulus Jimbung, Lintah Kadut, Tuyul, Jaran Penoleh, Kethek Mangklong, (Drewes: 2006). Selain itu Citro Waluyo juga membuat lukisan Kancil, Baginda Sulaiman, Ande-ande Lumut, Jaka Tarub dan sebagainya (Hooykaas: 2006).

Ikon Citro Waluyo dengan lukisan tradisionalnya, tentu menjadi tambahan kesan tentang Solo, sebagai kota budaya yang masih “nguri-nguri” mistik relegius. Kalau hal tersebut direalisasikan, dapat diduga bahwa Solo akan kebanjiran wisatawan yang ingin mendalami dunia Jawa.

Karya-karya Hajar Satoto dan Pamornya

Hajar Satoto, mulai dikenal oleh kalangan seniman pada tahun 1964-an sebagai penari. Bersama Warsita (Kecek), Sal Murgianto, Sardono W.Kusumo, S.Maridi, S.Waridi, Marsudi, Retna Maruti, Sentot S., Tri Sapto, Martati, Rusini dan sebagainya. Hajar Satoto berkembang sesuai dengan irama hidupnya (Supanggah: 2006). Tahun 1970-an Hajar Satoto beralih kuliah di ISI Yogjakarta, mendalami seni lukis yang juga ditekuninya.

Gaung karyanya mulai menggema, ketika bersama Suprapto Suryo Darmo membuat seni multimedia di Mendut dalam pergelaran Wayang Budha. Dari proses inilah, Solo memiliki dinamika kreasi yang dapat mengangkat dirinya di tingkat nasional, bahkan internasional. Melalui tangan halus dan kreatif Hajar Satoto, akhirnya ia benar-benar menjadi seniman yang komplit, karya-karyanya berkarakter Jawa “priyayi”, berselera aristokrat, multibidang dan multidimensional. Karya-karyanya bernilai estetis dan cultural, serta fungsional (Supanggah: 2006).

Karya wayang wanda baru, patung musikal, rebab sungging, keris dan senjata pamor, gamelan pamor menjadikan Hajar Satoto menjadi seniman yang lengkap. Lengkap, karena ia menghayati benar antara “realitas” seni tradisi dan “realitas seni modern. Hajar benar-benar mengalami “metamorfosa” secara alami dengan melalui proses yang panjangnya, ia menemukan solusi kekayaan (simbol dan elemen) pada seni tradisi untuk kepentingan seni rupa kontemporer (Ardus: 2006). Solo ataupun Indonesia sangat beruntung, memiliki seniman sekaliber Hajar Satoto. Walaupun pemerintah kota Solo sampai hari ini belum melihatnya. Penulis, berharap bahwa suatu saat Hajar Satoto “diambil” sebagai ikon seni rupa tradisi di Solo, dengan merawat karya-karyanya didalam sebuah “space” yang memadai.

Studio “Kampung Joso” Bonyong Munni Ardhie

Sebagai salah satu komponen Gerakan Seni Rupa Baru di tahun 70-an, Bonyong dikenal sebagai seniman pemberontak. Pemberontakannya mengalami puncak kreatif ketika peristiwa “Desember Hitam”-nya berbuntut dipecatnya Bonyong dari kampus ISI Yojakarta (Anusapati: 2004). Peristiwa itu pulalah yang sadar atau tidak, telah melejitkan namanya. Umar Kayam Bonyong, sebagai seniman “waton sulaya”. Karya-karyanya radikal dan beraroma sosial politik.

Tahun 1980-an, Bonyong membesarkan Solo dengan mengajar di ISI Solo. Dengan “keliaran”-nya Bonyong membakar, mengompori, menebas leher anak-anak muda di Solo. Ia dekati dan bakar perupa muda komunitas K3S, Sapulidi, dan sebagainya. Disenja umurnya Bonyong, telah menjadi “tempat” yang merdeka bagi siapapun. Solo, seharusnya pandai “menangkap” macan Gampingan ini agar jinak dan mengaumkan semangat dan kreasinya di Solo. Memang, Bonyong diakui atau tidak telah menjadi “ikon” seni rupa modern dan kontemporer Solo. Sayang, kalau tidak dijadikan media wisata seni rupa kita.

Akhir Wacana

Memahami dunia wisata, tidak harus dikonotasikan dengan hanya pada keramaian, gemerlapan, ataupun kedamaian  alam yang indah. Dulu Solo sudah “cukup” dengan Sekaten atau Grebeg Maulud, gemericiknya air bening Bengawan Solo, ombak alun taman Sri Wedari, sunyi mitisnya taman Bale Kambang, Stasiun Balapan, Kebon Raja, Pasar Kembang, Masjid Agung, Tugu Lilin, kampung Batik Laweyan. Setelah Solo ”membangun” Pasar Klewer, Gelora Manahan, Terminal Tirtonadi, menghidupkan Pura Mangkunegaran, kota satelit Solo Baru, taman Jurug, kampus ISI, kampus UNS, Taman Budaya, pasar Legi, Matahari, Solo Scuare, patung Slamet Riyadi, Goro As-Salam dan sebagainya Solo mulai “kehilangan” arah dalam mencitrakan dirinya sebagai kota wisata budaya. Solo hanya mengarah pada wisata “suasana fisik dan material”nya saja, sedangkan arah pencitraan wisata “jiwa ruh”nya tertinggal. Solo kehilangan esensi spirit dinamisnya. Lalu apa kemudian harus mundur ke masa silam? Tidak perlu, hanya mungkin Solo perlu “ruang-ruang seni untuk konsumsi batin dan ruh” yang bernilai turistik semacam padepokan Lemah Putih, Negeri Wayang Suket yang sudah ada. Dan yang mendesak dan memang belum disentuh, adalah sangat perlunya “pendirian ruang-ruang rupa untuk publik” yang membawa pencerahan wisata batin masyarakat Solo dan sekitarnya, seperti  yang tertutur dalam pemikiran ini.

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

0 komentar:

Posting Komentar